Thursday, May 2, 2013

makna MEMAYU HAYUNING BAWONO


makna MEMAYU HAYUNING BAWONO
Salah satu falsafah terpenting SH Terate adalah Memayu Hayuning Bawono. Namun masih banyak di antara kita (warga SH Terate) yang belum mengetahui makna dari kata-kata itu. Suatu hari pernah saya ditanya oleh siswa SH Teratem "Mas, sebenarnya apa sih makna kata Memayu Hayuning Bawono?". Saya jawab, "Artinya tidak jauh berbeda dengan rahmatan lil 'alamin". 

Terlepas mirip atau tidak, namun kata-kata itu berasal dari bahasa Jawa, yang mana tidak semua warga SH Terate adalah orang Jawa. Bahkan yang orang Jawa sekalipun belum tentu paham. 

Mengacu pada inti sari buku Memayu Hayuning Bawono yang di tulis oleh DR. Budya Pradipta yang pernah juga disampaikan di Global Summit (Pertemuan Puncak Dunia) sebagai agenda for Action bagi United Religions Inisiative, kata Memayu berasal dari kata hayu(cantik, indah atau selamat) dengan mendapat awalan ma menjadimamayu (mempercantik, memperindah atau meningkatkan keselamatan) yang diucapkan sering-sering sebagai memayu.

Kata Hayuning berasal dari kata hayu dengan mendapatkan kata ganti kepunyaan ning (nya) yg berarti cantiknya indahnya atau selamatnya (keselamatannya) terjemahan bebasnya dari memayu hayuning: mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan.

Kata Bawono berarti dunia dalam pengertian dunia batin, jiwa atau rohani. Sedangkan untuk pengertian lahiriah ragawi, atau jasmaniahnya dipergunakan kata buwono yang berati dunia dalam arti fisik. Bawono terdiri dari tiga macam arti dan makna yaitu:

Bawono Alit (kecil) yg bermakna pribadi dan keluarga
Bawono Agung (besar) yg berati masyarakat, bangsa, negara dan international (global)
Bawono Langgeng (abadi) adalah alam akhirat

Secara keseluruhan terjemahan bebas dari Memayu Hayuning Bawono adalah mengusahakan (mengupayakan) Keselamatan, Kebahagiaan, dan Kesejahterann Hidup di Dunia. Sepi ing pamrih, Memayu Hayunig Bawono (credoSepi ing pamrih rame ing gawe, Sastro Cetho Harjendro Hayuning.
Sementara ada juga pihak yang menterjemahkan
 pengertian Memayu Hayuning Bawana ini menegaskan bahwa segenap tubuh manusia (kita) di dalam jiwa dan tubuh jasmaninya saling berhubungan dan berkaitan secara seimbang dengan energi alam semesta yang membawa energi hawa dengan nafsu yang ada di jiwa kita, yang keduanya tidak bisa dipisahkan.

Keluarga adalah bagian terkecil dari struktur organisasi di masyarakat. Keluarga merupakan stage awal kehidupan individu manusia berasal. Oleh karena itu, seseorang dikatakan berhasil dalam hidupnya karena juga didukung oleh keluarga yang berhasil mengantarkan dirinya menjadi berhasil, begitu juga seseorang yang dikatakan gagal dalam hidupnya karena didukung oleh kegagalan dalam keluarganya.
Sebelum kita mendidik siswa kita, didiklah dahulu keluarga kita untuk mengetahui tentang “Apa sebenarnya Setia Hati”. Dengan demikian kita akan mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin kita lakukan ketika kita mendidik siswa tersebut. Selain itu kita memiliki pijakan untuk lebih mantap dan yakin akan apa yang telah kita berikan kepada siswa. Disamping itu, Keluarga merupakan cerminan dari kepribadian kita terhadap keluasan pengetahuan atau ilmu yang kita miliki untuk mengembangkan “Ilmu Setia Hati”.
1. Keluarga adalah cikal bakal semua Individu berasal.
Semua manusia terlahir pastilah memiliki keluarga. Secara sederhana keluarga terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak. Kumpulan  keluarga membentuk sebuah kelompok yang dinamakan masyarakat. Perkembangan dari keluarga, masyarakat, berkembang lagi menjadi bangsa dan negara. Dalam skala besar berkembang menjadi bangsa-bangsa atau negara-negara Dunia.
2. Keluarga adalah cerminan kehidupan manusia.
Semakin tinggi kemampuan seseorang menguasai suatu pengetahuan atau ilmu, semakin baik pula dirinya mengatur kehidupan rumah tangganya. Sedangkan seseorang yang mengaku memiliki ilmu setinggi gunung tetapi jika kehidupan rumah tangganya berantakan berarti belum mampu untuk mempergunakan ilmunya untuk memayu hayuning bawono.
3. Keluarga adalah bukti ketinggian pengetahuan atau ilmu yang dimiliki seseorang.
Seseorang yang memiliki pengetahuan atau ilmu; adalah ibarat tanaman padi yang semakin tua semakin berisi, yang semakin tua semakin merunduk, yang semakin tua semakin indah dilihat pandangan mata. Hal ini karena padi tersebut selalu dijaga, dirawat dan diberi pupuk, air dan dilindungi dari segala hal-hal yang bisa mengganggunya. Demikian juga dengan pengetahuan atau ilmu, jika selalu dijaga, diasah dan diamalkan akan menghasilkan suatu kemaslahatan bagi kehidupan manusia tersebut.
Apalah artinya pengetahuan atau ilmu yang tinggi jika kehidupan keluarganya rusak, porak-poranda, penuh dengan keributan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, kehidupan rumah tangga adalah cerminan ketinggian pengetahuan atau ilmu seseorang. Semakin tinggi pengetahuan atau ilmu seseorang maka semakin tinggi juga kemampuan untuk membentuk, mengatur dan membuat keluarganya lebih harmonis, mawaddah wa rahmah…. Amin..
Dengan konsep-konsep tersebut diharapkan seluruh Warga SH Terate memandang perlu membentuk keluarga-keluarga yang baik, harmonis, dapat menjadi contoh kehidupan berkeluarga di lingkungannya dan dapat menjadikan keluarga sebagai tempat yang nyaman, aman, bahagia, tentram dalam lahir maupun bathin.
makna MEMAYU HAYUNING BAWONO
1. Jagad memang dibedakan menjadi tiga itu, tapi yang dimaksud jagad alit adalah hubungan antar manusia, dan jagad ageng adalah hubungan manusia dan ciptaan yang lain.
2. Pemahaman tentang amemayu hayuning bawana tidak lepas dari pemahaman agama ageming aji, urip bebasane mampir ngombe, dan sepi ing pamrih rame ing gawe.
OK. Sukses selalu. Salam.

Memayu Hayuning Bawono

Memayu Hayuning Bawono, ini adalah artikel pertama yang saya tuliskan disini, artikel ini saya dapat dari SUARA MERDEKA. MELIHAT kasunyatan saat ini, wajar jika muncul rerasanan bahwa orang Jawa modern telah demikian jauh nrajang angger-angger, wewaler, lan paugeraning urip di tanah kelahirannya sendiri. Gara-gara banyak yang sudah ngrasuk busana ”mancanegara” luar-dalam, belakangan lingkungan hidup kita jadi bosah-baseh dan kehilangan rasa-aroma kejawaaannya yang khas. Contohnya, pagar teh-tehan, meniran, kacapiring, kembang sepatu, berubah jadi pagar tembok atau besi yang terkesan keras dan angkuh. Rumpun bambu dibabat karena dipandang mengotori halaman. Pekarangan dilapis conbloc, seakan ”rumput saja tidak boleh tumbuh”. Tambang demi tambang dikeduk habis tanpa ampun. Hutan dibabat, sawah dirubah, sungai parit dipersempit. Seakan peribahasa ”memayu hayuning bawana” sudah disebratake dari gerak kehidupan sehari-hari.

Padahal, jika sekali waktu membolak-balik peta tanah Jawa kita akan banyak menemukan nama-nama tempat (dusun, desa, jalan) yang jelas-jelas diambil dari nama tumbuhan, sejarah, serta alam lingkungan yang akrab dengan kehidupan orang Jawa di masa lalu. Seperti Desa Gondang (Klaten), Desa Kembanglampir (Boyolali), Desa Bulu (Temanggung), Desa Suruh (Salatiga), Desa Karangpandan (Karanganyar), dll. Dalam peribahasa pun banyak bukti betapa orang Jawa sangatlah akrab dengan alam lingkungan. Contohnya: kayu watu bisa krungu, suket godhong duwe mata, aji godhong jati aking, meneng widara uleran, donya ora mung sagodhong kelor, suruh lumah kurebe beda yen gineget padha rasane, kacang mangsa ninggala lanjaran, dan lain-lain.

Artinya, sebagai masyarakat agraris sesungguhnya mayoritas orang Jawa memiliki kepedulian tinggi terhadap alam lingkungan. Bahkan dalam banyak kasus, demikian akrabnya orang Jawa dengan alam lingkungan, sampai menganggap pohon, hewan, kayu, batu, gunung, sungai, tanah, memiliki roh, dihargai, dan dapat diajak berkomunikasi sambung rasa sebagaimana ìmanusiaî. Buktinya banyak. Dulu, anak-anak dilarang kecing di sungai. Memotong dahan, atau mematikan pohon yang tidak perlu juga merupakan pantangan.

Membunuh semut hitam, tidak boleh. Setiap rumah harus punya lubang sampah, yang setelah penuh segera ditimbun. Dengan kata lain, semua ora harus mengamalkan falsafah ìtepa seliraî. Meskipun sampah, jangan dibuang sembarangan karena manfaatnya besar bagi kesuburan tanah dan jazad renik yang hidup di dalamnya. Meskipun pekarangan rumahnya penuh cadas, harus disyukuri karena itulah yang dimiliki dan di sana memperoleh kemerdekaannya menapakkan kaki. Karena itulah, tidak mengherankan jika berabad-abad kehidupan di Jawa jadi terasa ”ayem tentrem nir ing sambekala.”

Persoalannya, hari ini apa yang disebut ”nrima ing pandum” nyaris ditinggalkan. Orang Jawa modern sedikit banyak telah mabuk kepayang dengan antroposentrisme ala Barat. Di mana inti paham tersebut menyatakan pusat kehidupan di dunia ini adalah manusia, dan sang manusia berhak melakukan apa pun terhadap alam lingkungan sesuai kehendaknya. Namun, karena kebablasan, mereka lupa bahwa eksistensi individu dalam tatanan alam raya (kosmos) tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki kaitan erat dengan seluruh komponen alam dalam struktur yang rapi dan bertingkat. Mereka lupa, bahwa manusia memiliki darma dalam kehidupan untuk menjaga keselarasan serta keharmonisan relasi antara jagad gedhe (alam raya) dengan jagad cilik (wadhag individual).

Saat ini rasanya unen-unen sepi ing pamrih rame ing gawe semakin tak ada artinya bagi orang Jawa modern, dan berganti dengan rame ing pamrih rame ing gawe. Nah, coba bayangkan. Bagaimana kalau para nenek moyang dulu sudah: rame ing pamrih? Apakah kita masih akan kebagian warisan alam lingkungan senyaman ini? Adakah jika nenek moyang dulu bukan bangsa yang nrima ing pandum, kita akan menikmati karunia Allah yang tersembunyi di balik alam tanah Jawa ini? Adakah jika nenek moyang dulu tidak punya semboyan memayu hayuning bawana, kita akan memiliki sebidang tanah yang masih menyediakan sumber air cukup bagi setiap keluarga?

Hari ini sudah masanya orang Jawa mencoba instrospeksi. Berbuat kesalahan itu wajar, karena manusia tak pernah luput dari khilaf. Namun, jangan menjadi tolol! Jangan seperti peribahasa: bodho longa-longo kaya kebo. Artinya, keliru memperlakukan jagad gedhe memang fatal. Tetapi, jangan (nuwun sewu) malah: ndableg. Pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak merasakan, pura-pura tidak peduli, kalau jagad gedhe dan jagad cilik di Jawa sudah sakit keras dan perlu dioperasi. .

Sudah waktunya orang Jawa yang masih ngenggone Jawane mateg aji jaya kawijayan melawan musuh yang kelihatan maupun tidak kelihatan dan merusak tatanan hidup kita selama ini. Dan musuh yang merusah tersebut, atau yang bernama satru mungging cangklakan adalah hawa nafsu kita sendiri seperti diutarakan dalam peribahasa: angkara gung ing angga anggung gumulung. Caranya, antroposentrisme Barat yang diterapkan demikian ekstrem itu mbok ya dikurangi, diganti dengan amalan budi pekerti luhur khas Jawa, yang seimbang dalam memperlakukan jagad gedhe dan jagad cilik secara proporsional.

7 comments:

  1. super mas.. banyak sekali dizaman yang semakin canggih membuat orang-orang jawa yang tidak lagi "njawani" hingga kehilangan "tepa slira"nya yang terkenal dan khas.

    ReplyDelete
  2. super mas.. banyak sekali dizaman yang semakin canggih membuat orang-orang jawa yang tidak lagi "njawani" hingga kehilangan "tepa slira"nya yang terkenal dan khas.

    ReplyDelete
  3. Terimakasih telah berbagi informasi

    ReplyDelete
  4. falsafah budaya jawa yg begitu tinggi dan luhur

    ReplyDelete
  5. Trimasih mas saya lebih paham🙏 sekarang banyak Mas mas Pelatih Yang condong Ke Fisik Dan Materi,,Namun Ke Sh an Dan Kerohanian Tak Banyak yang di dalami

    ReplyDelete
  6. Harusnya seperti itu mas. Saya setuju . Tumbuh seprti padi , semakin berilmu semakin menunduk. Bukan malah arogan karna ilmu, falsafah jawa hanya sebagai pengetahuan tanpa di peraktekan dalam kehidupan. Al hasil oknum - oknum ini malah membuat nama sh rusak di mata masyarakat.

    ReplyDelete